Revolusi Hijau Indonesia Masa Orde Baru
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai
untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya
pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara
berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada
(kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya
selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh,
Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara.
Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang
dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini.
Perkembangan Revolusi Hijau, Teknologi Dan
Industrialisasi
Kebijakan modernisasi pertanian
pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau
merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern.
Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian
dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai
varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen
komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah
mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru
(farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi
ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya
ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk
menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara :
1.
Intensifikasi
Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani
yang meliputi :
a. Pemilihan Bibit Unggul
b. Pengolahan Tanah yang baik
c. Pemupukan
d. Irigasi
e. Pemberantasan Hama
2. Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu
Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan
baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka
hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan
pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat
mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan
pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya
pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan
dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut.
Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai
stabilisator lingkungan.
Ø Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
· Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
· Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering
perkembangan teknologi dan komunikasi
· Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan
monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
· Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan
yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan
tertentu.
· Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi
Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama
dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
· Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan
komersialisasi.
· Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan
pembagunan industri pupuk nasional.
· Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi
Unit Desa).
Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia
merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk
memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang
dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu
tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun
keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa
pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di
Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando
penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan
lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada
dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan
tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan
pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah
Bahan kimia sintetik yang
digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan
biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat
beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama
tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa
hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan
terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung
meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan
bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun
berakibat:
a) Berbagai organisme penyubur tanah musnah
b) Kesuburan tanah merosot / tandus
c) Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
d) Hasil pertanian mengandung residu pestisida
e) Keseimbangan ekosistem rusak
f) Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Revolusi Hijau bahkan telah
mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani
bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun
dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang
telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada
pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat
terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah
punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No.
12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan
lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam
mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program
pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim
pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan
para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi
Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak
ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada
penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang
kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang. Mitos akan kehebatan Revolusi
Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu
pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika
Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan
ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam
pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau
di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida
dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan
petani padi Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah
produksi pangan yang tidak seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus
meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam
program Pelita. Revolusi Hijau ini dilaksanakan secara nasional.
Sumber :
- Mustopo, Prof. Dr. M. Habib (2011).
"Sejarah 2 SMA Kelas XI Program IPA". Penerbit Yudhistira
- http://ianmaulana13037.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id
Komentar
Posting Komentar